PARIBAN - (sebuah teori)
00.34 | Author: PARSAME

Terus terang.., tulisan ini memang masih bersifat dugaan semata dan belum memiliki kebenaran absolut apalagi kalau disebut sebagai teori yang sudah solid.

Tulisan ini sebenarnya hanya ingin menjawab sebuah pertanyaan dari mana asal kata dan sejarah dari kata “PARIBAN

Berdasarkan rentetan fase pemikiran yang amburadul maka saya memberikan opini sementara bahwa kata Pariban itu berasal dari kata “PAR-BARIBAAN” atau “ORANG SEBELAH”. Par-baribaan dalam dugaan saya
memiliki makna “ORANG DEKAT” atau “ORANG YANG MASIH DIKENAL” atau bisa juga “SANAK FAMILY”.

Berdasarkan dugaan tersebut saya pun mencoba menerawang ke jaman ompungta si jolu tubu dan dalam perjalanan imaginier ini sayapun berubah menjadi orang batak pintar dan sangat kaya.

Karena saya kaya maka seperti kebiasaan orang-orang batak kaya yang lain jelas takut benar kehilangan harta, dan karenanya sayapun ingin agar orang orang yang berhubungan dengan keluarga atau dekat dengan sumber kekayaan saya haruslah orang yang bisa dipercaya.

Untuk itu saya harus membuat suatu aturan baru agar bisa mengawinkan anak dan boru saya kepada keluarga yang masih bisa dipercaya. Setelah dipikir dan diputar putar 7 putaran akhirnya saya mendapatkan ide brilian. Sebaiknya Anak lelaki saya dikawinkan dengan anak dari saudara lelaki dari isteri (Tulang). Sementara anak perempuan dikawinkan dengan anak dari ito saya (namboru).

Sebagai orang kaya sekaligus pintar marhata tentunya saya cukup disegani di banyak huta dan dengan gampang sayapun bisa mengudang banyak raja adat dan raja huta guna mengolkan usul tersebut dan menjadikannya bagian dari aturan adat yang “seharusnya” atau tidak dilarang.

Seperti sebuah ungkapan ompungta si jolo tubu.

“Dolok i do marsitatapan dohot Dolok, Rura i tu Rura”,

Maka usul tersebut pun tidak sulit untuk disepakati, karena raja adat dan raja huta pada jaman dulu biasanya dari golongan berada juga (memiliki luas tanah ber-bius-bius istilah jaman dulu) dan memiliki kekayaannya yang hanya sedikit dibawah saya, Maka kamipun Setali tiga uang.

Agar semuanya lengkap dan sesuai prosedur maka kaum perempuan harus dipisahkan dari silsilah sebab jika dimasukkan tentu masih memiliki hubungan darah, padahal yang namanya sedarah jelas tidak bisa saling
mengawini. Untuk itu pihak perempuan pun harus dibuang dan dibuat terpisah agar tidak bertentangan dengan usul yang hendak dibentuk.

Untuk melengkapi sekaligus menyempurnkan hal tersebut maka kaum perempuan yang telah dipisahkan (dibuang dari silsilah) sebaiknya diberi penghargaan dalam bentuk lain, karenanya kami sesama raja adat membuat aturan lain yaitu menempatkan pihak perempuan sebagai pihak yang terhormat dan diberi tempat di siamuan didalam pelaksanaan setiap adat.

Klop bukan ?
setelah klop pengumuman pun dibuat, dan karena raja adat dan raja kampung yang mencetuskan, maka seluruh pengikutnyapun menjadikannya sebagai aturan sah didalam adat, untuk mengawini boru ni Tulang atau
“Parbaribaan” alias PARIBAN.

Akhirnya kekayaan saya pun seperti syair lagu dari
kla-project

tak pernah kelain hati..,

tak pernah ke lain orang.

Horas

Saya mendapatkan respon atas tulisan saya berjudul “Jika Anda Orang Batak, Katakan Pada Anak Anda Dia Orang Batak”. Tulisan itu jujur sebuah perspektif pribadi dari pengalaman pribadi. Saya berharap tidak menyinggung siapapun. Kalau dibaca teliti, tulisan itu sebenarnya tidak mendorong semua orang yang masuk dalam kategori Antropologi sebagai “Suku Bangsa Batak” untuk menyebut diri mereka “orang batak”. Tulisan itu menyarankan agar mereka (yang merasa) “orang batak” memberitahu anak-anak mereka bahwa mereka “orang batak”. Tak ada gunanya berdebat jika anda bukan orang batak atau merasa bukan orang batak. Saya coba ulas semua masukan yang saya terima .

Jonson Tarigan, sahabat saya yang sedang mengambil S3 di New York, dan selalu menyebut dirinya “orang batak” dalam emailnya mengatakan: “gejala sosial budaya Batak urban yang kau gambarkan di blog mu itu dalam konteks yang hampir sama sudah jadi indikator perpecahan bangsa batak sejak jaman nenek moyang kita. Sub-kultur yang satu mengatakan berbeda dari lainnya, atau merasa lebih unggul dari lainnya, dan menganggap lebih pimitif yang lainnya. Di kampungku, sebutan orang Batak itu ya hanya untuk orang Toba.”

Ita Damanik, sahabat saya semasa kuliah di S1 merespon singkat: “I am Batak, Batak Simalungun!” Sementara sahabat lain mengatakan: “tanah leluhurku, tanah Simalungun, bukan tanah batak!. Arimbi Nasution, sahabat “french club” saya yang berjilbab itu mengatakan: “Aku tak pernah tahu ada, sebutan lain selain “orang Batak”. Aku orang Batak Mandailing.

Inangtua (Tante) saya yang br. Siregar (Angkola), menjelaskan bahwa jaman nenek moyang dulu ada ejekan sinis: “muda kayo, han sipirok, muda miskin han toba” artinya, “kalau kaya pasti dari Sipirok, kalau miskin pasti dari Toba.” “Ketika banyak sastrawan Batak Selatan seperti Madong Lubis, Mochtar Lubis atau ilmuwan Dr. Diapari Siregar sudah mahsyur pada masa penjajahan, banyak orang Batak dulu mengaku orang Selatan.”, kata Inangtua yang berusia 70-an dan lahir di Jakarta itu.

Saya juga mendapat beberapa email panjang lebar yang tidak dengan blak-blakan mengatakan “kami bukan orang Batak”, tapi dengan kesimpulan pendek mengatakan bahwa sebutan “orang Batak” itu hanya untuk orang Batak Toba. Email lain mengatakan, bahwa hanya orang Tapanuli saja yang disebut “orang batak” dan orang non-Tapanuli tidak menyebut diri mereka “orang Batak”. Sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa memang ada perbedaan perspektif (non-ilmiah) diantara kelompok masyarakat Suku Bangsa Batak. Indikasinya, panggilan “batak” mengacu pada sub-kultur batak Toba, yang konotasinya dimata sub-kultur lain adalah “batak tulen”.

Saya melihat bahwa krisis identitas orang batak menjadi indikator perpecahan suku bangsa batak sejak jaman opung-opung kita. Orang-orang Batak yang mengalami krisis identitas itu ada disekitar kita. Mengenali dan meng-identifikasinya sangat mudah; ciri-ciri mereka adalah; tidak mengakui identitas batak, menghilangkan marga, menjauh dari komunitas dan budaya batak, berpura-pura tidak dapat berbahasa batak, mengatakan dirinya sudah “sangat jawa”, “sangat sunda”, “sangat barat”, “sangat manado”, sudah berpendididikan asing, tidak pernah tahu kampung halaman, dsb. Mereka takut terkonotasi dengan persepsi peradaban terbelakang sebagai orang “batak tulen“. They are around you and me.

Tanah Batak Tanah Leluhur

Saya menyebut tanah leluhur saya adalah Samosir, karena betapa luasnya Tanah Batak. Menurut Tarombo (silsilah) Marga Sinaga, Saya adalah generasi ke-17 Marga Sinaga, dihitung dari tokoh bernama Raja Toga Sinaga (Sinaga Pertama), hidup sekitar abad ke 15. Sebagian besar buyut kandung saya dikubur di Samosir, sebagian lagi dikubur dan beranak pinak hingga hari ini di Tanah Simalungun, berserak dari Siantar hingga Tanah Jawa atau keluar Sumatra. (Yupp, ada Tanah Jawa di Tanah Simalungun). Sepupu-sepupu saya di Simalungun itu (ada yang sudah mencapai generasi ke 22) sebagian beragama Islam.

Lalu, mengapa disebut Tanah Batak? Apa Sejarahnya ?

Tanah Batak

Pusuk Buhit di Tapanuli (Tapanuli kemudian mekar menjadi beberapa kabupaten) dipercaya sebagai tempat awal Suku Bangsa Batak pertama yang beranak pinak pada sekitar abad 13. Pemerintah Belanda menamakan wilayah itu sebagai Centraal Batakland yang artinya Tanah Pusat Suku Bangsa Batak atau Tanah Batak atau Tano Batak (Lance Castle, “Kehidupan Politik Suatu Karesidenan di Sumatera, Tapanuli, 1970).

Suku bangsa Batak secara geografis melakukan penyebaran dan berserak pada wilayah-wilayah tertentu dan menjadi “Tuan Tanah” atau “Landlord “ atas tanah-tanah kediaman mereka tersebut. Pemujaan atas tanah-tanah mulia itu dikenal lewat sebutan Tanah Simalungun, Tanah Karo, Tanah Mandailing. Beberapa literature menjelaskan sejumlah hasil penelitian Genealogi (asal-usul) yang menunjukkan, terjadinya migrasi orang Batak secara konsisten yang berawal dari sekitar Danau Toba (Lance Castle, “Kehidupan Politik Suatu Karesidenan di Sumatera, Tapanuli, 1970).

Tiga tahun terakhir ini saya addicted mempelajari buku-buku dan literature yang ditulis oleh Anthropologist, Sociologist, Linguist dan beberapa budayawan mengenai Suku Bangsa Batak, 1 dari 19 peta suku bangsa terbesar di Indonesia yang penggolongannya didasarkan pada lingkaran hukum adat yang dibuat oleh Van Vollenhoven (B. Ter Haar, Adat Law in Indonesia, New York, New York Institute of Pacific Relations, 1984).

Saya juga mempelajari Tarombo (Silsilah), mulai Tarombo Si Raja Batak, yang dipercaya orang Batak sebagai cikal bakal Suku Bangsa Batak), serta beberapa Tarombo Marga. Saya tidak berniat untuk memperdebatkan apa yang sudah ditulis dan sudah di-research selama beratus tahun oleh para Anthropologist, Linguist dan Sociologist, Missionarist terdahulu. Mungkin perlu 20 tahun tambahan, plus 10 orang profesor dan sekitar 100 team, untuk secara Anthropology, Genealogy, Ethnology, Sociology, Linguistic, Socio-Linguistic, meneliti ulang asal-usul orang batak, penyebarannya secara geografis, ekonomis, sosiologis, menelaah tingkah laku sosial- budaya-linguistik mereka, menetapkan parameter measurement serta menarik kesimpulan atas siapa yang disebut “suku bangsa Batak”. Jadi saya ambil dari literature yang sudah ada saja.

Siapakah orang Batak? Who are they?

Definisi “Orang Batak”

Pada perspektif saya, pada saat ini ada 2 definisi “orang Batak”;

1. Mereka yang menurut Antropologi termasuk Suku Bangsa Batak (Definisi ilmiah)
2. Mereka yang mengaku/merasa Orang Batak (Definisi bukan ilmiah)

Saya katakan “saya orang Batak”, karena berdasarkan definisi ilmiah dan bukan ilmiah, saya tergolong orang Batak.

Suku Bangsa Batak

Antropologi mengenal “Batak ethnic group” atau “suku bangsa Batak” sebagai suku bangsa yang secara geografis berasal/mendiami wilayah-wilayah yang mereka sebut sebagai “tanah” (“land”) itu, dengan 5 sub-culture atau sub-ethnic Group sbb:

5 sub-ethnic group atau sub-culture Suku Bangsa Batak ;

* Batak Mandailing, mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan (ibukotanya Padang Sidempuan) dan sekitarnya. Lokasinya dekat dengan Sumatera Barat.
* Batak Toba mendiami wilayah yang mencakup Kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara.
* Batak Karo mendiami Kabupaten Karo yang lokasinya sudah dekat dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, khususnya kabupaten Aceh Tenggara.
* Batak Simalungun mendiami wilayah Kabupaten Simalungun dan sekitarnya
* Batak Pakpak mendiami wilayah Kabupaten Dairi dan sekitarnya

Jadi sah-sah saja jika kemudian kelima sub-kultur didalam kesuku-bangsaan Batak itu mengatakan diri mereka atau menyebut sub-kultur satu dengan lainnya sebagai Orang Mandailing, Orang Toba, Orang Karo, Orang Simalungun, atau Orang Pakpak atau bahkan terdefinisikan oleh kotak-kotak sub-sub-kultur lebih kecil berdasarkan kelompok klan/marga sebagai Orang Angkola atau Orang Selatan atau Orang Samosir (Par Samosir), orang Si Lindung (Par Silindung), Orang Balige (Par Balige). Orang-orang batak ini juga sudah kawin-mawin antar sub-culture dan berserak ke seluruh penjuru dunia.

Lalu apakah artinya kita bukan berakar dari satu rumpun Suku Bangsa Batak? Kita Bukan orang Batak?

“Indikator perpecahan suku bangsa batak sudah ada sejak jaman nenek moyang”, kata Jonson Tarigan sahabat saya.

Sesama orang Jawa memperkenalkan diri mereka dengan identitas orang Solo, orang Yogja, orang Suroboyo, orang Cirebon. Tetapi bukan berarti mereka bukan orang Jawa. Mereka juga sering menekankan kata Jawa didepan daerah asalnya. “Aku Jawa Cirebon!”. Betapapun berbedanya budaya Cirebon dengan budaya Solo, dan budaya Jawa Timur dengan Tengah, mereka tetap “Wong Jowo”

Identifikasi “Saya orang Batak” saya katakan jika lawan bicara saya sesama orang Indonesia menanyakan asal kesukuan saya. Bukan untuk pemujaan kesukuan/etnosentris. Ketika ditanyakan oleh sesama orang batak, tentu saya akan mengatakan: “oh, Opungku orang Samosir, pulau ditengah Danau Toba, tepatnya Lontung dimana rumah opungku berdiri hingga hari ini sejak tahun 1880-an.”

But again, it is my perspective! Perspektif yang mungkin dilihat oleh sesama orang yang merasa “orang Batak” dimanapun dan dari wilayah geografis manapun mereka berasal. Tentunya harus dengan spirit “kita punya banyak kesamaan” dan bukannya spirit “kita punya perbedaan”. Saya sama sekali tidak berniat untuk mempermasalahkan perspektif sebagian orang yang menganggap bahwa rumpun suku bangsanya bukanlah Suku Bangsa Batak. Berbeda? It’s OK!

—————————————————————————————————

Reference

1. B. Ter haar, Adat Law in Indonesia, New York, New York Institute of Pacific Relations, 1984
2. Bruce Warner, Missions as Advocate of Cultural Change Among the Batak People of Sumatra, MA Miss, 1972
3. Harahap. E St., Perihal Bangsa Batak: Bagian Bahasa. Jawatan Kebudayaan, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1960
4. Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Karesidenan di Sumatera, Tapanuli, Grafika 1970
5. Lehmann, Martin E., Bibliographical Study of Ingwer Ludwig Nommensen (1834-1918), Pioneer Missionary to the Bataks of Sumatra, London Publisher,1996
6. Joustra, M., Karo-Bataks Woordenboek. Leiden, Brill, 1907. (English Version), 1970
7. Drs. Richard Sinaga, Leluhur Marga-Marga Batak Dalam Sejarah Silsilah dan Legenda, Dian Utama, Cetakan ke-2, Jakarta, 1997
8. Baharuddin Aritonang, Orang Batak Naik Haji, Gramedia, 2002
9. Harahap M.D., Adat Istiadat Tapanuli Selatan, Rafindo Utama, Jakarta.
10. Harahap B. Hamidi. 1979. Jalur Migrasi Orang Purba di Tapanuli Selatan. Majalah Selecta no. 917.
11. Paul Radin, Primitive Man as Philosopher, London British Museum, 1980
12. Hutagalung, W.M., Tarombo Dohot Turi-Turian Ni Bangso Batak, Tulus Jaya, Jakarta, 1990
13. Nalom Siahaan, Adat Dalihan Na Tolu: Prinsip dan Pelaksanaannya, Grafindo, Jakarta, 1982
14. Team Anjungan Sumut, Tarombo Si Raja Batak, Media Taman Mini Indonesia Indah, 1991
15. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Rineka Cipta 1996

———————————————————————————————————————-This writing is dedicated to: Gorga Hosa Deo Sinaga and Tondi Halomoan Raja Sinaga, those young men, my nephews who might have not been told that they are orang Batak

Penulis : Tika Sinaga

Children should be encouraged to take pride in their ethnic heritage, thereby boosting self-esteem.” (DeHart, Sroufe, & Cooper, Child development: Its nature and course. Boston: McGraw Hill, 2000). “Anak-anak harus didorong untuk bangga pada asal-usul etnis mereka sehingga mendongkrak rasa bangga dan penghargaan terhadap diri mereka sendiri

Weekend lalu saya diperkenalkan si Bungsu adik saya pada teman barunya. Si Bungsu ini “anak gaul” sehingga kerap membawa teman baru ke rumah. Biasanya si Bungsu akan memperkenalkan nama temannya dan saya akan melanjutkannya dengan pertanyaan-pertanyaan standard seperti “tinggal dimana”, “sekolah dimana”, “kenal si bungsu dimana?”, “ayah ibu kerja dimana” dll. Kadang pertanyaan-pertanyaan itu saya akhiri dengan pertanyaan dari mana dia berasal. Teman baru si Bungsu yang usianya tidak lebih dari 20-21 tahun ini misalnya, karena wajahnya yang Ganteng, bulu matanya luar biasa bagus, kulit bersih dan tubuh atletis, saya jadi ingin tahu dari mana dia berasal.

Kamu orang apa sih, Dek?”, tanya saya ingin tahu.

Orang Jakarta, Kak”, katanya.

Kita semua orang Jakarta karena kita tinggal atau lahir di Jakarta. Maksud Kakak, kamu berasal dari suku apa”, lanjut saya.

ohhhh”, katanya seolah baru sadar salah menjawab. Saya yakin dia sebenarnya mengerti maksud saya. “Orang Sumatra, Kak”, jawab si ganteng. Saya mulai agak hilang kesabaran.

Dek, kamu tidak belajar pengantar Antropologi waktu semester satu yah? Kan Sumatra itu bukan suku bangsa, jadi enggak ada istilah saya orang Sumatra. Kok susah amat kau menjawab pertanyaan Kakak? Kamu nih ganteng dan oon yah”, lanjut saya. Si Ganteng tertawa.

Orang Medan deh, Kak”, ralatnya, gelisah. Mukanya agak bingung atau pura-pura bingung.

Si Bungsu yang tahu betul maksud saya langsung menimpali dengan wajah tidak sabar: “Lu ngomong sama Kakak gue yang bener, bilang aja lo orang Batak gitu, susah amat sih guoblog lo…. Dia ini Siregar, Kak, gak ngaku Batak! Ibunya Batak, juga, Simanjuntak.” “Waktu ketemu pertama kali juga ‘gitu’ Kak, bertele-tele waktu ditanya orang apa”, lanjut si Bungsu. “Mandi masih pake air asin, tinggal di gang sempit aja udah gak ngaku orang Batak lu..!”, lanjut si Bungsu berseloroh. Mereka terbahak. Semoga si Ganteng belajar sedikit hari itu mengenai siapa dia.

Saya bangga pada si Bungsu karena diusianya yang muda ia tidak pernah ragu mengatakan “Saya orang Batak”. Si Bungsu adalah tipikal remaja metropolitan “produk MTV” yang selalu kami khawatirkan agak menganut faham hedonis dan sangat ter-westernisasi. Sejak usia 5 tahun dia sudah ‘ngerti’ apa itu “luar negri”.

Saya juga bangga pada ayah saya yang sebagian hidupnya dihabiskan di Semarang, dan sampai akhir hidupnya selalu membaca karya-karya sastra cukup tinggi dari Rendra, Sapardi Joko Damono, hingga Ernest Hemingway itu, tetapi ia tetap mengajarkan anak-anaknya untuk bangga pada asal-usul kami. “Never be ashamed to tell people who you are. You are orang Batak”, demikian ayah saya yang berbahasa Inggris, Belanda dan Jawa itu selalu mengatakan.

Pengajaran ayah saya itu menanamkan concious saya untuk tidak pernah ragu mengatakan “saya orang Batak” ketika asal-usul saya ditanyakan dimanapun saya berada, di Danau Toba yang keras, di Yogja yang lunak maupun di Paris, London atau New York yang sophisticated, ketika saya bertemu dengan orang Indonesia disana. Bahkan ketika saya sudah menyebut diri saya sebagai “a global citizen”. “Saya Orang Batak”. Clear! Tanpa embel-embel “tapi saya lama tinggal di Singapore”, atau “tapi saya sudah tidak bisa bahasa Batak”, atau “ tetapi saya lahir di Jakarta” atau “tapi saya orang Mandailing”. Kata “tetapi” itu adalah satu dari seribu excuses yang dipakai oleh banyak orang Batak untuk mengatakan bahwa ia berbeda dari stereotype orang Batak yang terbentuk di masyarakat. Kira-kira artinya adalah “tetapi saya sudah berbudaya, sudah tidak ‘barbaric’. Saya sudah tidak makan orang lagi!”.

Menjadi orang Batak berarti terperangkap dalam konotasi negatif stereotype yang terbentuk lewat penggambaran karakter yang kasar, keras, tempered, agresif, tukang-berantem, nyali preman, gaya bicara teriak-teriak, volume suara keras, belum lagi stereotype fisik rahang bersegi, mata tajam, tubuh lebih sering tebal dan profesi yang dihubungkan dengan pencopet, supir metromini ugal-ugalan, preman, petinju kasar, pecatur suntuk, inang-inang pedagang Pasar Inpres Senen, atau penyelundup Tanjung Periuk.

Konotasi negatif inilah yang sering kali membuat banyak keluarga Batak tanpa sengaja tidak menanamkan “rasa bangga” akan asal-usul mereka pada anak-anak mereka seperti si Ganteng teman adik saya tadi, yang jelas sekali sangat berat mengatakan “saya orang Batak”, dan berkilah mengatakan dirinya “Orang Jakarta”, “orang Sumatra” dan “orang Medan”. Konotasi negatif itu juga sering membuat Orang Batak bangga jika dikatakan “tidak kelihatan Batak”, “tidak kentara Bataknya”, apa lagi kalau sudah agak “kaya” sedikit atau kenal luar negeri, sudah tidak mau terafiliasi dengan apapun yang berbau Batak. Kalau bisa jangan ‘ngaku’ orang batak. Seorang artis berdarah batak malah mendapatkan nama ”Cut “ dari ayahnya untuk menggelapkan asal-usulnya. Menyedihkan!

Konotasi negatif di atas tidak akan pernah hilang jika setiap keluarga Batak memilih untuk menanggalkan identitas anak-anak mereka, menghilangkan marga mereka dari nama-nama mereka, “menggelapkan” asal-usul mereka dengan istilah “orang Medan”, “orang Sumatra” atau “orang Jakarta” (dia pikir cuma dia yang lahir di Jakarta), serta tidak memberikan pengajaran betapa pentingnya mengenal akar dan asal-usul budaya sendiri sebelum mampu mengenal dan mencintai budaya-budaya lain, bahkan sebelum mampu menikmati Beethoven Symphony No 9. Jadi jangan bilang anda penikmat budaya jika asal-usul suku bangsa andapun tidak anda akui.

Menanamkan kebanggaan atas asal-usul pada anak-anak kita itu bukan untuk tujuan pengkultusan superioritas kesukuan atau ethnocentrism, akan tetapi penghargaan terhadap budaya, etnik, identitas dan asal-usul itu. Kebanggaan dan penghargaan itu akan memberikan “sense of belonging” atas kelanjutan sebuah nilai budaya yang menjadi pondasi untuk membangun diri sendiri. Kelak tentunya membangun lingkungan dimana dia berada.

Red Wolf seorang pejuang dan budayawan Indian, Native American dalam beberapa bukunya mengatakan: “The Native Indian passed their culture and tradition down from generation to generation from memory, not from a notepad or book. Therefore, if your Mother, Grandmother, Father or Grandfather told you or your family that you are of Indian blood, you are Indian”. Saya terpesona dengan tulisannya itu. Katanya: “ Orang Indian mewariskan budaya dan tradisi mereka dari generasi ke generasi lewat ingatan, bukan lewat catatan dan buku, jadi jika ibu, nenek, ayah atau kakekmu mengatakan bahwa engkau berdarah Indian, maka engkau adalah Indian”.

Saya implementasikan dengan bebas kalimat di atas ke dalam tulisan saya ini sebagai: “Jika engkau orang Batak, katakan pada anak-anakmu bahwa mereka adalah orang Batak”.

Penulis : Tika Sinaga